Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT
, karena berkat anugerah dan nikmat keluangan dan pengetahuan yang diberikan,
maka makalah ini dapat diselesaikan. Tidak lupa salawat serta salam kita
ucapkan kepada junjungan kita yakni nabi besar Muhammad SAW, karena
berkat kerja keras beliau ilmu agama ini sampai pada kita dan dapat
kita nikmati saat ini.
Dan
tidak lupa penulis juga ucapkan terima kasih kepada orang tua serta teman-teman
yang ikut berpartisipasi dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, sehingga penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR ISI
Katapengantar.................................................................................................. i
Daftar isi........................................................................................................... ii
BABI PENDAHULUAN................................................................................ iii
a. Latar Belakang.............................................................................................. iii
b. Rumusan Masalah......................................................................................... iii
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 1
a.
Kondisi Hukum Islam Pada Masa Sahabat................................................. 1
b Sumber Hukum Islam‟ Pada
Masa Sahabat................................................. 3
c. Karakteristik Hukum Islam‟ Pada Masa Sahabat......................................... 4
d. Sebab-Sebab Timbulnya
Perbedaan Pendapat Di Kalangan Sahabat.......... 5
BABIV KESIMPULAN................................................................................ 8
Daftar
Pustaka.................................................................................................. 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pada masa dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di
kendalikan oleh sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah
mengatakan bahwa rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti beliau
dalam roda kepemimpinan pemerintahan Islam.
Akan tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada
tatanan Islam yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh,
mereka mulai berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah
dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah
satu sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama
disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir
adalah Ali Bin Abi Tholib. Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang
meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam menentukan hokum Islam
selalu berpegang pada fatwa rasul yang telah ada.
Akan tetapi dari satu
sisi itu pula sahabat menemukan yang memang dalam fatwa rasul tidak ada, mereka
berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di
sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Hokum islam ‟ pada masa
sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu penetapan hokum juga
sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup semua permasalahan
langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan mungkin pula ada banyak perbedaan
penentuan hokum melihat pada tatanan social politik kala itu. Mereka sudah
mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat yang
di lihat pada tatanan sosialnya
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi hokum islam ‟ pada masa sahabat, dan faktor –faktor penyebab
perkembangannya?
2. yang menjadi sumber hokum
islam‟ pada masa sahabat?
3. karakteristik hokum
islam‟ pada masa sahabat?
4. sebab-sebab timbulnya
perbedaan pendapat di kalangan sahabat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Hokum Islam‟
Pada Masa Sahabat
Apabila tahap
pertumbuhan dan perkembangan hokum Islam diamati sesudah periode Nabi Muhammad
saw dalam literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat
berdasarkan sudut pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan 4
(empat) tahapan, yaitu (a) Masa sahabat (632-662 M); (b) Masa Pembinaan,
pengembangan dan pembukuan (abad ke 7-10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran
(abad ke 10-19M); (d) Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 M sampai saat ini).
Masa Khulafaurrasyidin (632 M-662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad
saw, yaitu berhenti wahyu turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT kepada Nabi
Muhammad saw melalui Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik
wahyu yang turun di Mekah maupun di Madinah. Demikian juga hadis dan/atau sunnah
berakhir pula dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu,
kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Alloh tidak dapat digantikan
oleh manusia lainnya termasuk sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin
masyarakat Islam sekaligus sebagai kepala negara harus di lanjutkan oleh orang
lain. Pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin masyarakat dan kepala
negara disebut khalifah. Pejabat kekhalifahan yang disebut Khulafaurrasyidin
ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddieq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode kekuasaan
pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi
periode Khulafaurrasyidin meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah
yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hokum yang rinci di dalam
Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya.
Oleh karena itu, sahabat
menghadapi banyak masalah yang tadinya
tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran,
pajak, cara penetapan hokum di pengadilan, dan lain-lain budayahukum di
Damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada
masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima
oleh Rosululloh saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah
yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai
berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar
dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hokum baik dalam
Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta‟wil
nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar
memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial
maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang
kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad.
Para sahabat juga dapat
dikatakan sebagai musyari‟ yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan
memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash.
Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan
keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi,
sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud
suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama‟ sesudahnya.[1]
Bahkan sahabat bergabung dalam kelompok yang biasa diajak
bermusyawarah oleh Rosululloh saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat
yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah
masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Memang hal
seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi bukan berarti Khulafaurrasyidin
memiliki wewenang mutlak untuk mengganti syari‟at yang telah di ajarkan oleh
Nabi. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat
melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa
peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.
Sebelum mengetahui
pengaruh fatwa terhadap perkembangan hokum, terlebih dahulu kita perlu
mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat. Berikut di
antara persoalan penting yang di hadapi oleh sahabat.
a. Sahabat khawatir akan kehilangan Al-Quran
karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Quran meninggal dunia dalam perang
melawan orang-orang murtad.
b. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf
sahabat terhadap Al-Quran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi
sebelumnya.
c. Sahabat takut akan terjadi pembohongan
terhadap Sunnah Rosululloh Saw.
d. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang
dari hukum Islam.
e. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan
yang memerlukan ketentuan syariat, karena Islam adalah petunjuk bagi mereka
tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini
perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga banyak ditemukan
kasus-kasus baru yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Pada kesempatan
inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti ( konsultan ) dalam masalah
hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah yang
banyak berinteraksi dengan Rosululloh Saw. Merekalah yang paling sering
mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya
suatu ayat ( asbabun-nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang
menjadi peserta sidang dalam mesyawarah-musyawarah yang di selenggarakan
Rosululloh Saw. Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain
:
1. Di Madinah : Zaid bin
Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti Aisyah.
2. Di Makkah : Abdulloh
bin Abbas.
3. Di Kuffah : Ali bin
Abi Thalib dan Abdulloh bin Mas‟ud.
4. Di Syam : Mu‟adz bin
Jabbal dan Ubadan bin Shamir.
5. Di mesir : Abdulloh
bin Ammar. Pada mulanya para mufti berdomisili di Madinah, dengan berkembangnya
syiar Islam, maka mereka berpencar ke daerah-daerah maupun ke kota-kota. Para
sahabat, khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam
membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi
hidup” Nabi, tetapi juga melebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia,
Irak, Syam dan Mesir. Ini untuk pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan
persoalan baru, penyelesaian atas masalah moral, etika, kultural dan
kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik.
Agaknya inilah faktor
yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqih pada periode ini.
Daerah-daerah yang di buka dan “diislamkan” saat itu memiliki perbedaan masalah
kultural,tradisi,situasi dan kondisi yang menghadang para Fuqaha, sahabat untuk
memberikan “hukum” pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan. Para sahabat
dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al-Quran dan Sunnah, menyikapi
persoalan-persoalan yang dating dengan langsung merujuk kepada Al-Quran dan
As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam Al-Quran dan Hadits secara
tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka menemukan dalam dua sumber syariat
Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka secara paksa
untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai
tema-tema dalam Al-Quran dan Hadits untuk di aplikasikan terhadap
persoalan-persoalan baru. Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah
bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya.
Sebagian dari mereka
banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan
masing-masing. Dari sinimuncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang
mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non-muslim. Para Fuqaha
untuk kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas
hidup seperti ini, termasuk disini adalah persoalan baru yang belum
pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang
secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini
B. Sumber-Sumber
Hokum Islam‟ Pada Masa Sahabat
Sumber atau dalil
hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah (a) Al-Quran;(b) Sunnah,
dan (c) Ijtihad (ra‟yu).[2]
Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual.
Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan
hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut Ijmak. Al-Quran pada
masa ini sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin Affan setelah
dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar.
Adapun smber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu
belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Quran. Meski
demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan, sehingga kenbenaran
riwayatnya dijamin. Abu Bakar misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari
seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang
terpercaya.
Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut
datang dari Rasululloh, demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa
menyumpah perawinya. Kemudian sumber hukum yang ketiga adalah
ijtihad. Para sahabat dalam berpendapat tidak selalu sama, artinya
pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan Ibnu Abbas
berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam masalah „iddah. Dalam surat
Al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
„iddahnya 4 bulan 10 hari, kemudian dalam surat At-Thalaq ayat 4 dijelaskan
bahwa wanita yang hamil „iddahnya sampai dia melahirkan. Lalu persoalannya,
bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati oleh suaminya.
Menurut Ali dan Ibnu Abbas „iddahnya diambil yang lebih panjang
diantara dua masalah tersebut ( 4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan),
sementara menurut Umar, „iddahnya sampai melahirkan.Kita ketahui secara pasti
bahwa kasus-kasus yang telah ditetapkan hukumnya oleh para sahabat sangat
banyak jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan terus dilakukan, namun
tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa diberikan ketetapan hukumnya. Untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru, para sahabat kembali kepada Al-Quran
dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati pernah
timbul keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan,
karenanya kembali kepada Al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan
dihafalkan, tetapi nasib hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka
lebih terpusat pada Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis
sebagai antisipasi hilangnya Al-Quran karena banyaknya orang-orang Islam yang
hafal Al-Quran gugur dalam pertempuran. Dan dengan tujuan penulisan ini pula
ditemukannya keseragaman Al-Quran dalam bacaan dan penulisan.
Mushaf yang diusahakan oleh Khalifah Utsman ( 624-630 M ) itu
disebut Mushaf Utsmani. Sedangkan penulis hadits secara tertib berjarak lebih
dari satu abad dari penulisan Al-Quran. Namun demikian sumber hukum Islam di
masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Berdasarkan kedua sumber itulah
para Sahabat dan Khalifah berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Alasan para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah ialah karena
banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang memeritahkan taat kepada Alloh dan Rasul,
mengembalikan sesuatu yang dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta
berserah kepada apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rasul. Alasan para
sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasululloh melakukan
ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun.
Suatu ketika Rasul mengutus Mu‟adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul
bertanya kepada Mu‟adz, “Dengan apa Engkau menghukumi sesuatu?” Jawab Mu‟adz,
“Saya menghukumi dengan Kitab Alloh.” Rasul bertanya, ”Jika tidak kamu jumpai
(dalam Kitab Alloh)?” Jawab Mu‟adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasululloh.”
Rasul bertanya, “Jika tidak kamu jumpai(dalam Sunnah Rasululloh)?” Jawab
Mu‟adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul
membenarkannya seraya memuji Alloh atas limpahan Taufik-Nya.
C. Karakteristik hokum
islam‟ Pada Masa sahabat
Tidak setiap orang
Islam mampu mengembalikan berbagai persoalan pada materi undang-undang serta
mampu memahami hukum-hukum yang ditunjuk oleh Nash. Ini bias dimaklumi karena, dari aspek pertama, terdapat umat Islam
yang tergolong “awam”, yang baru bias memahami nash melalui perantara orang
yang lebih “pandai” dan memahami seluk beluk penafsiran nash. Aspek kedua
ialah, bahwa materi undang-undang belum tersebar di kalangan umat Islam secara
merata.[3]
Nash-nash Al-Quran pada permulaan periode ini baru dibukukan dalam
lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah Rasuldan di rumah sementara
sahabatnya, sedangkan Al-Sunnah sama sekali belum dibukukan.
Aspek ketiga ialah,
bahwa materi undang-undang mensyariatkan hukum bagi kejadian dan urusan
peradilan yang terjadi ketika di-tasyri‟kannya hukum-hukum itu, tidak mensyariatkan
hukum-hukum bagi peristiwa yang dibayangkan kemungkinan terjadinya. Dengan
adanya tiga sebab itu, maka para pemuka sahabat berpendapat bahwa di atas
pundak merekalah kewajiban tasyri‟ wajib mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud
adalah memberi penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang
memerlukan penjelasan dan penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Al-Sunnah, dan
menyebarluaskan di kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran
dan Hadits Rasul, serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam
peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya.
Mereka itulah tokoh-tokoh pengendali kekuasaan hokum islam‟ dalam periode ini,
dan mereka itulah yang menggantikan Rasul dan tempat bertanya umat Islam
tentang berbagai persoalan. Para pemuka sahabat memangku hak hokum islam‟
bukan karena pengangkatan Khalifah atau pemilihan umat, melainkan karena
keistimewaan pribadi yang di milikinya. Para sahabat telah lama bergaul dengan
Rasul, serta menghafal Al-Quran dan Al-Sunnah, para sahabat menyaksikan
sebab-sebab turunnya ayat dan sebab-sebab datangnya Sunnah, banyak di antara
mereka adalah teman bermusyawarah Rasul dalam berijtihad. Karena keistimewaan
inilah, maka para sahabat mampu menjelaskan nash-nash dan mampu berijtihad
dalam persoalan yang tidak ada rujukan nashnya. Para sahabat adalah
tempat bertanya umat Islam, dan umat Islam mempercayai apa yang dating dari
para sahabat, baik yang berupa penjelasan maupun yang berupa fatwa.
Perkembangan hokum islam‟pada
masa sahabat pada masa sahabat pada periode Abu Bakar, hukum islam‟ tidak
banyak mengalami perkembangan, periode ini lebih menekankan konsolidasi kedalam
dari pada melakukan ekspansi. Adapun metode yang di pakai Abu Bakar dalam
menetapkan hukum adalah apabila masalah tersebut tidak ada dalam nash, maka Abu
Bakar mengumpulkan para sahabat dalam majlis hokum islam‟, dari hasil majlis
tersebut maka di anggap sebagai keputusan bersama dan harus dijalankan oleh
ummat Islam waktu itu, sehingga perbedaan pendapat tidak banyak terjadi
pada periode ini. Masa pemerintahan sahabat ini sangat penting dilihat dari perkembangan
hukum Islam, karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi
berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang
cara mereka menemukan dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu. Umat
Islam telah berusaha sungguh-sungguh dalam meriwayatkan ayat Al-Quran, dan
mengisnadkan para perawinya, sehingga tidak timbul perbedaan sama sekali dalam
segi ini.
Adapun sumber perundang-undangan
yang kedua, yaitu nash-nash hukum dalam Al-Sunnah belum di bukukan pada
periode ini, sebagaimana Al-Sunnah secara keseluruhan juga belum di bukukan.
Dalam periode ini Khalifah kedua yakni „Umar Ibn Khattab, telah memikirkan pembukuan
Al-Sunnah. Namun, sesudah beliau bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan
para sahabat, beliau khawatir terhadap pembukuan Al-Sunnah. Mengapa?
Karena waktu itu hanya dikenal satu versi Al- Sunnah dari „Abdullah Ibn „Amr
Ibn Al-„Ash yang mempunyai sebuah lembaran bernama Al-Shadiq, yang menghimpun
hadits-hadits yang di dengar dari Rasululloh. Pengumpulan hadits dan rencana
pembukuan Al-Sunnah dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan
selektif, terutama dari aspek perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadits dari
seorang perawi yang benar-benar di perkuat oleh seorang saksi. Umar Ibn Khattab
meminta si perawi hadits mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah
meriwayatkannya, sedangkan Ali Ibn Abi Thalib meminta agar si perawi hadits
bersumpah.
Namun demikian,
sikap hati-hati ini belum dapat merealisir tujuan yang sebenarnya, yaitu
pembukuan Al-Sunnah. Dalam periode (ijtihad) sahabat, belum ada pembukuan
terhadap atsar-atsar mereka sedikitpun. Nilai fatwa para sahabat merupakan pendapat
perseorangan; jika benar maka berasal dari Alloh, tetapi jika keliru
berasal dari pribadi para sahabat itu sendiri. Para sahabat tidak mengharuskan
siapa pun khususnya umat Islam untuk mengikuti fatwanya.
D. Sebab-sebab Timbulnya
Perbedaan Pendapat dikalangan Sahabat
Setelah Nabi Saw wafat, timbul dua pandangan
yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan
langsung dengan otoritas penetapan hukum ; Kelompok pertama memandang
bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna
Al-Quran setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya mereka
menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang harus dirujuk dalam menyelesaikan
masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah.
Kelompok ini kelak
dikenal sebagai kelompok Syi‟ah. Sedangkan menurut kelompok yang kedua, sebelum
meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang
dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-Quran dan Al-Sunnah adalah
sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang
timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai kelompok Ahlu Sunnah atau Sunni.
Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi tiga ;
yang pertama, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Al-Quran ;
Kedua, perbedaan yang disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang ketiga, perbedaan
pendapat dalam menggunakan ra‟yu ( intervensi akal ). Sebab-sebab perbedaan
yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
a. Dalam Al-Quran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytirak).
Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 228 : “yang di ceraikan
oleh suaminya hendaklah
menunggu tiga kali quru‟.” Kata quru‟ mengandung dua arti ; al-haidl dan
al-thuhr. b. Hukum yang ditentukan Al-Quran masing-masing “berdiri
sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu
kasus. Misalnya, dalam Al-Quran terdapat
ketentuan bahwa waktu
tunggu („iddah) bagi wanita yang dicerai karena suaminya meninggal dunia adalah
4 bulan 10 hari, dan waktu tunggu bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil
(„iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi
kemungkinan terjadinya seorang wanita yang hamil ditinggal wafat suaminya. Ali
Ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbasy berpendapat bahwa „iddah yang berlaku bagi
wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah „iddah
yang terpanjang antara dua „iddah tersebut. Sedangkan Abdullah Ibn Mas‟ud
berpendapat, bahwa yang berlaku adalah „iddah hamil, sebab ayat tentang „iddah
hamil diturunkan setelah ayat „iddah wafat, yang berlaku konsep Naskh. Adapun
sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut
:
a. Tidak semua sahabat memiliki penguasaan
yang sama terhadap Sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaannya cukup luas,
ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai
Nabi ada yang intensif ada yang tidak, ada yang lebih awal masuk Islam ada yang
terakhir.
b. Kadang-kadang riwayat
sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada sahabat
yang lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra‟yu karena
ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat
bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa
ramadhan, “man ashbaha junuban fala shouma lahu”. Kemudian pendapat ini
di dengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa
dengan Nabi Saw sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
c. Sahabat berbeda pendapat dalam menta‟wilkan
Sunnah. Umpamanya, Thowaf sebagian besar sahabat berpendapat bahwa bersegera
dalam Thowaf adalah Sunnah, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa bersegera
dalam Thowaf tidak Sunnah. Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang
disebabkan oleh penggunaan ra‟yu,diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan
ali tentang perempuan yang menikah dalam waktu tunggunya.
Umar berpendapat,
perempuan yang menikah dalam waktu tunggu, apabila belum dukhul harus
dipisah, ia harus menyelesaikan waktu tunggunya, apabila sudah dukhul,
pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu tunggu, waktu
tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya.
Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan waktu
tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar
berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan pelanggaran.
Menurut para ahli,
timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat disebabkan adanya
beberapa factor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar
yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini. Pertama, perbedaan dalam
memahami nash Al-Quran dan Hadits. Perbedaan seperti ini biasanya
disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi
di kalangan sahabat seperti persoalan quru‟. Adanya ayat-ayat ahkam yang
musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat
Al-Baqarah : 228 memiliki dua pengertian.
Zaid bin Tsabit, quru‟ [4]berarti
suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh. Kedua, munculnya
dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir
dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan,
caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari
dalil-dalil yang menguatkan salah satu dari nash ( at-Tarjih ), dan jika kedua
cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash. Ketiga, sebagian
fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan
pengetahuan dari Sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau
menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai Hadits Shahih. Pada
masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan Hadits.
Beberapa Hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh sebagian Fuqaha
ditolak oleh Fuqaha lain sebab berbagai alas an. Selektifnya penerimaan
periwayatan Hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan Hadits
di lain pihak, terutama dikalangan Ulama Madinah.
Keempat, perbedaan
kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari perbedaan penggunaan kaidah
dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang
sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan Fiqh Islam. Kelima, ini mungkin
yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode
Khulafaurrasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka
hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi
dan redinamisasi syariat periode ini. Keenam, perbedaan mereka dalam menerima
Hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima Hadits dengan jelas
dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini
disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka . Bagi yang dekat dengan
Rasulullah praktis saja mereka banyak menerima Hadits, demikian sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan sahabat adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah
wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan
sebagai musyar‟i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan
musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai
musyawirin Rasul Saw. Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada
zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan
Ijtihad ( ra‟yu ). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif,
para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah
sahabat disebut Ijma‟. Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi
diantara mereka tetap terjadi khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang
mempengaruhi adalah sifat Al-Quran, dan Sunnah serta perbedaan ra‟yu. Disamping
sosiokultur yang jelas sangat mempengaruhi.
Perkembangan hokum islam‟
pada masa sahabat sangat hidup dan
semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil disbanding
masa-masa berikutnya. Para sahabat Khulafaurrasyidin tidak menyikapi
hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas dari konteks social, tetapi dimensi
social itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat
dan ideal terhadap berbagai problematika yang bermunculan.
DAFTAR PUSTAKA
Zainuddin Ali, Hukum
Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), 68 M. Hasbi Ash Shidiqi,
Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), 56
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di
akses pada tanggal 25 Desember 09 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), 37
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di
akses pada tanggal 25 Desember 09
[1] Sirry Mun‟im, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya :
Risalah Gusti, 1995), 33
[2] http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada
-Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09 JaihMubarok,
Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, 41
[3] http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada
-Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09 Abuddin Nata, MA,
Masail Al-Fiqhiyah,
[4] http://www.scribd.com/doc/15169629/Tarikh-Tasyri-Makalah-Mui,
di akses tanggal 30 Desember 2009 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1990), 155
0 komentar:
Posting Komentar